Cari Blog Ini

Harapan Palsu

Share:

Tetesan hujan yang tidak berhenti semenjak malam tadi, dinginnya udara kota Bandung yang harus diterjang oleh Anna, seorang janda muda dengan anaknya yang bernama Ibnu yang berusia 2 tahun. Anna harus pergi dari Bandung, kota tercintanya. Di sana, terlalu banyak cerita manis yang terukir akan dirinya dan suaminya yang sudah meninggal karena kecelakaan lalu lintas sebulan yang lalu. Hari-hari begitu sangat berat untuk Anna lalui. Namun, kini dia sadar, kenangan manis itu bukan untuk diratapi, namun untuk diperjuangkan, Anna harus berjuang untuk Ibnu, satu-satunya kenangan nyata dari suaminya.

“Nak, itu keretanya sudah datang, ayo kita naik”, ujarnya sambil berbicara kepada anaknya yang pada saat itu digendong dengan menggunakan kain penggendong. Sang anak hanya terus tersenyum, tanpa tau bahwa kepergiannya itu untuk mengadu nasib, bukan untuk sebuah wisata. Anna dengan cepat menaiki kereta agar tidak tertinggal dan mendapatkan tempat duduk.

Sesampainya di dalam kereta, Anna duduk di samping seorang laki-laki yang hampir seusia dengannya. Berpenampilan “cukup” dengan wangi khas sebuah merek parfum yang terkenal. Wisnu, ternyata laki-laki tersebut adalah kang Wisnu. Bagai sebuah petir yang hadir di siang hari, Anna begitu kaget mengetahui bahwa dia harus duduk di samping kang Wisnu, mantan pacarnya sewaktu SMA dulu. Entah apa yang harus dirasakan oleh Anna, namun di sisi lain dia sangat senang bisa bertemu dengan kang Wisnu lagi, setelah pertemuan terakhirnya 3 tahun yang lalu pada saat resepsi pernikahannya dan setelah itu kang Wisnu pergi, menghilang tanpa ada berita, bagaikan sudah ditelan oleh bumi.



“Anna?”, katanya. Kang Wisnu memanggilku, dia kanget sampai aku melihat kedua bola matanya membesar, seperti masih belum percaya bahwa aku ini Anna seorang wanita yang dulu sangat dia cintai. “I, ii.. Iya kang”, jawabku sedikit ragu dan terbata-bata. Dia masih terdiam, seolah dunianya berhenti berjalan. Kuberanikan untuk berkata “Kang Wisnu, apa kabar?”. “Oh, iya Na, aku baik. Sini duduk, eh mana suamimu?”, tanyanya sambil memandang kiri dan kanan pertanda dia mencari kang Rudi, suamiku yang sudah meninggal. “Kita hanya berdua kang, kang Rudi sudah meninggal karena kecelakaan bulan lalu”, jawabku seraya memandangi Ibnu yang terlihat mulai mengantuk. Kang Wisnu terdiam, dia mungkin merasa bersalah atas pertanyaannya. “Sudah takdir, kang”, tambahku. Kini wajah kang Wisnu membaik, kuberikan senyum hangatku kepadanya. Kami berdua saling terdiam. Aku lebih suka memandang jendela kereta, kulihat gunung, sawah dan pemandangan indah lainnya. Kang Wisnu sibuk merapikan pakaiannya saja.



Setengah jam lamanya setelah keberangkatan kereta yang kita tumpangi melaju, aku mulai mengantuk. Tiba-tiba kang Wisnu bertanya, “Kita harus bangkit Na, kita tidak boleh terbelenggu oleh masa lalu. Setelah ini apa yang akan kamu lakukan?”. Aku mengerti kemana arah pembicaraan itu. Aku tau bahwa kang Wisnu masih mencintaiku, aku tau itu dari Sinta, teman dekatku. Katanya kang Wisnu sangat pemilih dalam hal mencari pasangan, dia sangat menginginkan seorang wanita yang sama persis seperti diriku. “Yang pasti aku harus bekerja kang, untuk mencukupi kebutuhan hidup keluargaku”, jawabku sambil tersenyum. “Mungkin kamu membutuhkan bantuan orang lain agar tidak terlalu berat membesarkan anakmu ini”, sambil mengusap pipi Ibnu yang sudah tertidur. Aku tidak mau mengomentarinya, aku hanya bilang “Namanya Ibnu, kang”. “Nama yang bagus, nama yang pantas untuk anakku”, katanya. “Maaf kang, maksudnya?”, tanyaku. Aku sebetulnya mengerti kemana arah percakapan kang Wisnu. Aku hanya berpura-pura bodoh saja. Sebetulnya, untuk seorang janda yang harus membesarkan seorang anak sangatlah sulit dan aku begitu senang karena ada yang masih mencintaiku, tentunya dia adalah orang yang aku cintai juga. Namun, kenyataannya aku tidak mau menyakiti hati mertuaku, orangtua dari kang Rudi.



“Tidak mungkin kan kamu harus membesarkannya sendirian?”, katanya. “Oh, kalau soal itu ibu katanya mau membantu kang, ya walaupun tidak seberapa katanya”, jawabku berlaga mengerti. Kang Wisnu hanya terdiam, dia sudah kehabisan kata-kata kiasan. Mungkin dia menganggap aku kini bodoh dan tidak peka, atau dia sudah menyadari aku hanya berpura-pura, aku tidak peduli! Setelah itu kita sama-sama terdiam. Cukup lama.

Sebentar lagi kereta akan sampai di tempat tujuan, Jakarta. Di perjalanan tadi kang Wisnu sudah bercerita bahwa dia kini sudah menjadi orang sukses, bekerja di perusahaan yang cukup besar di daerah Jakarta. Dia juga mengatakan bahwa sampai pada saat ini dia masih mencari sosok wanita yang akan menjadi pendamping hidupnya. Namun, dia masih belum menemukan orang yang lebih baik dariku. Dia juga berkata bahwa gadis ataupun janda, kaya ataupun miskin, kang Wisnu tidak peduli. Perkataan yang cukup jelas bahwa dia masih mau menjalin ikatan keluarga denganku.

Sebelum kereta berhenti kang Wisnu berkata “Anna, aku masih mencintaimu”. Ya, cukup berani. Akhirnya dia mengungkapkan perasaannya, lagi. Mungkin dia tidak mau kehilangan cintanya, lagi. Namun, dia harus menerima bahwa aku tidak bisa bersamanya, lagi dan lagi. Aku tidak bisa menjawab, hanya senyuman yang aku berikan.

Sebelum pergi, aku berkata kepada kang Wisnu “Kang, benar kata kang Wisnu, Anna harus bangkit, Anna tidak boleh terbelenggu oleh masa lalu dan Anna mungkin akan mencari kebahagiaan Anna yang sudah hilang dulu. Anna harap kang Wisnu pun demikian. Assalamu’alaikum kang”. “Iya Anna, aku akan selalu menunggu kebahagiaanku yang dulu hilang, Wa’alaikum salam Anna”, jawabnya. Kulihat senyuman harapan terpancar di wajahnya. Aku hanya bisa membalas senyum saja, aku harus bergegas pergi, aku takut setan menggoyahkan keyakinanku, bagaimanapun aku masih muda dan aku masih memiliki rasa yang sama.

“Maaf kang, yang Anna maksud adalah Anna akan membesarkan Ibnu, inilah kebahagiaan Anna yang masih tersisa, Anna harap kelak ada seseorang yang lebih baik dari Anna yang kang Wisnu temukan. Bagaimanapun kang Wisnu pantas mendapatkan kebahagiaan”, gumamku dalam hati. Akhirnya aku pun melanjutkan perjalananku. Bukan Jakarta yang aku tuju, namun Malaysia. Ya, kini aku menjadi TKW dan mungkin aku tidak akan bertemu denganmu lagi, kang Wisnu.

Cerpen Karangan: Rohandi

Cerpen Harapan Palsu merupakan cerita pendek karangan Rohandi, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Silahkan Bila ada pertanyaan
kami akan jawab secepatnya

Cara Login  ᐈStep1   ᐈStep 2
Tagg Infotasik kolom informasi seputar tasik#hoteltasik, #infotasik, #tasik. #hotel, #telppenting
LABEL: daftar nomor telepon

Tidak ada komentar